Fikih tidak bisa lepas dari konteks realitas al w qi yang melingkupinya mengingat fikih bukanlah hukum yang melangit dan terhempas dari kenyataan konkret masyarakat Sepantasnya sebagai produk pemikiran fikih yang dikreasikan selalu bersinggungan secara dialektis dengan diversitas budaya bukan saja suku bangsa atau ras yang beraneka ragam tetapi juga keanekaragaman kepercayaan agama yang ada di Nusantara ini Pada praksisnya fikih yang idealnya berdialektika dengan diversitas budaya adiluhung ini kian waktu kian terkikis oleh hegemoni diskursus budaya Timur Tengah Berdampingan dengan itu dalam tembok akademik fikih juga menampakkan corak westernisasi nya Maka adakah di Nusantara fikih otonom autentik yang tidak terpengaruh dua mainstream tersebut Adakah fikih membangun harmoni dengan kondisi kondisi historis yang telah membangun lokalitas Berangkat dari uraian di atas dengan pendekatan u liyah Islamic Legal Theory buku sederhana ini menawarkan peran strategis dalam dimensi keilmuan fikih Nusantara dan pengembangannya sehingga darinya diharapkan menemukan sifat otonom fikih yakni fikih yang bercita rasa Nusantara bukan fikih yang menjadi bayangan semu kedua mainstream di atas Dalam konteks seperti itu buku ini dihadirkan Selamat Membaca Fikih tidak bisa lepas dari konteks realitas (al-wāqi) yang melingkupinya mengingat fikih bukanlah hukum yang melangit dan terhempas dari kenyataan konkret masyarakat. Sepantasnya sebagai produk pemikiran, fikih yang dikreasikan selalu bersinggungan secara dialektis dengan diversitas budaya bukan saja suku-bangsa atau ras yang beraneka ragam, tetapi juga keanekaragaman kepercayaan (agama) yang ada ...di Nusantara ini. Pada praksisnya fikih yang idealnya berdialektika dengan diversitas budaya adiluhung ini kian waktu kian terkikis oleh hegemoni diskursus budaya Timur Tengah. Berdampingan dengan itu—dalam tembok akademik—fikih juga menampakkan corak westernisasi-nya. Maka adakah di Nusantara fikih otonom/autentik yang tidak terpengaruh dua mainstream tersebut? Adakah fikih membangun harmoni dengan kondisi-kondisi historis yang telah membangun lokalitas? Berangkat dari uraian di atas—dengan pendekatan uṣūliyah (Islamic Legal Theory)—buku sederhana ini menawarkan peran strategis dalam dimensi keilmuan fikih Nusantara dan pengembangannya, sehingga darinya diharapkan menemukan sifat otonom fikih, yakni fikih yang bercita rasa Nusantara, bukan fikih yang menjadi bayangan “semu” kedua mainstream di atas. Dalam konteks seperti itu, buku ini dihadirkan. Selamat Membaca!